(tulisan ini
pernah diterbitkan di Reader’s Digest Indonesia dengan judul Babak Belur di Sanggar Tari, saya lupa
edisi 2011 atau 2012. Peringatan sebelum membaca: Tulisannya agak panjang :p Peringatan kedua: Semua foto dalam posting ini diambil saat saya ujian Tari Legong Lasem, bukan Pendet. Jadi sebenarnya kurang menjelaskan isi tulisan :p #lahgimanasik)
Di
usia 32, saat sudah beranak satu, saya mulai berlatih menari Bali. Tanpa
pengalaman, tanpa bakat, tanpa target. Berlatih menari membuat saya lelah,
pegal-pegal, dan susah turun angkot karena kaki tak bisa menekuk. Tapi percaya
atau tidak, ini nikmat sekali!
|
With the whole Legong Lasem squad. Atas: Kenia, Imel, Erlyn, Junko, saya. Bawah: Sita, Dama, Devi :) |
‘Tubuh saya tidak untuk menari.’
Saya mempercayai kalimat di atas hampir seumur hidup. Seperti
kebanyakan orang, saya hanya menari sewaktu perpisahan TK, entah berapa puluh
tahun lalu. Sewaktu SD, saya juga pernah mengikuti kursus balet bersama adik
saya, walaupun cuma beberapa kali. Pelatih balet kami pernah memberitahu ibu
saya kalau salah satu putrinya berbakat, dan yang dia maksud adalah adik saya.
Setelah latihan balet yang cuma seumur jagung itu, saya
tak pernah bersentuhan dengan tarian apa pun lagi selama bertahun-tahun.
Satu-satunya pengalaman yang agak dekat dengan menari mungkin sewaktu saya
membuntuti adik saya ke kelas aerobik—saat itu saya sudah lulus kuliah. Adik
saya sudah beberapa kali datang ke kelas aerobik itu, sedangkan saya baru mau
mencoba. Dan percobaan itu ternyata... gagal total. Saya sungguh kesulitan
mengikuti gerakan-gerakan aerobik. Orang-orang bergerak ke kiri, saya ke kanan.
Mereka ke kanan, saya ke kiri. Tak usah tanya soal menyesuaikan gerak dengan
irama musik. Bubar blas! Selesai kelas, saya habis diketawai adik—dan diri
sendiri.
Masih ada satu peristiwa lain yang membuat saya semakin
yakin kalau tubuh saya tidak didesain untuk menari: Waktu itu tahun 2000, saya
baru beberapa minggu putus dengan mantan pertama. Suatu hari, saya tersedu-sedu
sendirian di kamar. Sambil menangis, tak sengaja saya melihat pantulan diri
sendiri di cermin. Ya ampun, jeleknya! Muka merah, hidung apalagi. Rambut kusut
masai, wajah memelas tak jelas.
Saya langsung bertekad untuk berhenti menangis dan
menyemangati diri sendiri. Caranya, saya putar lagu nge-beat lalu mulai joget-joget mengikuti irama. Di tengah-tengah
joget, saya mellihat ke cermin lagi dan kembali terkejut. Astaga, kok malah
tiga kali lebih jelek daripada pas nangis tadi? Bayangan di cermin itu membuat
saya terbahak-bahak. Memang tidak ada yang lebih lucu –sekaligus
tragis—daripada menertawakan diri sendiri.
Anehnya, walaupun tidak bisa menari, saya sangat tertarik
menonton tarian. Saya juga menikmati film-film yang ada unsur menarinya seperti
Chicago, Shall We Dance, Step Up, dan Fame. Menonton orang menari membuat
saya gembira. Tarian menyalakan sesuatu dalam diri saya, entah apa. Saya ingat,
sewaktu kuliah dulu, salah satu dosen pernah melontarkan pertanyaan pada kami,
‘Kapan kalian merasa paling hidup?’ –dalam Bahasa Cina tentu, karena saya jurusan
Sastra Cina—dan seorang teman menjawab ‘Saat saya menari’. Di telinga saya,
jawaban itu ‘merdu’ sekali.
Sekitar 2008, sewaktu saya masih bekerja sebagai
wartawan, saya mewawancarai dr Amaranila Lalita Drijono—pendiri Puan
Klinik. Di tengah-tengah kesibukannya,
dr. Nila ternyata punya aktivitas yang menarik, yaitu berlatih menari Jawa
klasik. Menurut beliau, ada begitu banyak manfaat yang bisa dipetik dari
latihan menari. Salah satunya, menari Jawa klasik terasa bagaikan meditasi bagi
dr. Nila. Belum lagi manfaat olah tubuh dan sekaligus melestarikan kebudayaan
nasional. Saya terpesona pada penjelasan beliau. Saat itu juga, saya memutuskan
untuk mengambil kursus tari.
Tekad bulat di tahun 2008 itu ternyata baru bisa terwujud
tiga tahun kemudian, 2011. Tahun ini saya sudah melepas pekerjaan 9 to 5 dan beralih menjadi penulis
lepas. Salah satu positifnya menjadi pekerja lepas adalah memiliki waktu yang
lebih fleksibel. Saya pun mendaftar kursus tari Bali di Sanggar Saraswati di
Taman Ismail Marzuki (TIM), diantar seorang kawan yang pernah kursus di sana
juga.
Hari pertama
kursus menari Pendet, satu hal yang langsung terlihat mencolok adalah: Saya
peserta paling tua! Saya (saat itu) berusia 32 dan sudah punya anak. Sementara
murid-murid lainnya rata-rata masih duduk di SD. Saya curiga ada yang masih TK
juga. Saya ingat ucapan kawan saya, si Juli: ‘Dulu sih ada ibu-ibu yang ikut
latihan menari juga. Daripada bosan menunggu anak-anaknya kursus, mereka ikut
menari sekalian olahraga.’ Tapi
kenapa sekarang yang saya lihat bayi-bayi semua? (Pada latihan kedua,
kawan-kawan sekelas yang sudah cukup dewasa –setidaknya sudah sekolah menengah
atau kuliah—baru bermunculan)
Latihan hari pertama mengingatkan saya pada keyakinan
saya zaman dulu: ‘Tubuh saya tidak untuk menari.’ Hari pertama kursus, saya
belajar ngegol—intinya: berjalan dengan
pinggul dan kepala bergoyang. Bila pinggul ngegol
ke kanan, kepala direbahkan ke kanan juga, begitu sebaliknya. Badan saya yang
kaku ini ternyata sulit memahami perintah sesederhana itu. Ketika pinggul saya ngegol ke kanan, kepala saya malah rebah
ke kiri.
Guru tari yang melihat saya berkali-kali salah akhirnya
menghampiri saya, memegang kepala saya dengan kedua tangannya, lalu menyuruh
saya ngegol. Dia merebahkan kepala
saya ke kanan dan ke kiri sesuai gerakan pinggul. Melihat adegan ini,
kawan-kawan sekelas saya (yang masih bayi-bayi itu) langsung bubar dari
barisan, mengerubungi dan memperhatikan ‘tante-tante’ yang sedang dilatih ibu
guru. Salah satu dari mereka bahkan membetulkan posisi tangan saya yang salah.
Benar-benar pemandangan –dan pengalaman—yang lucu.
Saya sungguh berjuang dalam kordinasi gerak. Selain ngegol, saya juga kesulitan berlatih agem. Teorinya begini: Agem kiri berarti badan rebah ke kiri,
kaki kanan di depan dan pinggul ke arah kanan. Sumpah mati saya sulit sekali
meresapi perintah ini. Saat itu saya yakin sekali, ada yang salah pada otak
saya, entah belahan sebelah mana. Atau mungkin saya terlalu banyak berpikir?
Hal lain yang juga langsung saya sadari adalah: menari
itu melelahkan! Buat saya yang tak pernah berolahraga, sesi latihan selama dua
jam itu bagaikan sebuah gym yang
membuat keringat saya mengucur deras dan melemaskan otot-otot yang kaku. Setiap
waktu istirahat tiba, saya terseok-seok ke pojok, mengambil minum, duduk
berselonjor, lalu mengipas-ngipas diri sendiri dengan bokor (mangkok alumunium yang dipakai latihan Pendet). Apa yang dilakukan kawan-kawan sekelas saya?
Mereka bermain, berlari ke sana kemari, bercanda dan tertawa-tawa, seolah
cadangan energinya masih berlimpah ruah. Ah, umur memang tidak bisa menipu.
Minggu-minggu pertama, saya selalu pulang dalam kondisi
babak belur. Bukan cuma lelah, tapi paha, lutut, dan tungkai kaki selalu nyeri.
Turun dari angkot adalah perjuangan berat karena saya nyaris tak bisa menekuk
kaki. Saya berlatih tiap Jumat, dan kondisi ini akan bertahan kira-kira sampai
Kamis depan. Keesokan harinya saya akan pergi berlatih dalam kondisi kaki
sedikit membaik, lalu pulang babak belur lagi.
Tapi percayakah kamu? Saya bertahan. Tidak sekali pun ada
pikiran untuk mundur di benak saya. Bukan karena saya seorang yang bertekad
baja, tapi karena seluruh kegiatan ini menyenangkan. Membebaskan.
Begini. Saya orang yang sulit berkonsentrasi. Apa pun
yang sedang saya lakukan, pikiran saya mudah teralih. Tapi ketika berlatih
menari, saya sangat fokus. Badan, pikiran, hati saya, semua di tempat yang
sama: Di teras depan Graha Bhakti Budaya, TIM, sedang belajar menari. Cuma ada
saya dan tarian itu di sana. Segala masalah, pekerjaan, beban pikiran hilang
semua. Karena itulah, saya menyebut kegiatan ini ‘membebaskan.’
Hal lain yang membuat saya senang adalah kemajuan yang
saya capai minggu demi minggu. Tentu, saya maju lebih lamban dari semuanya,
tapi lama-lama saya bisa ngegol atau agem secara otomatis, tanpa berusaha
keras mengingat teorinya dalam kepala. Gerakan-gerakan tari Pendet lambat laun
juga berhasil saya hapal, walaupun saya sering sekali melirik kawan di kanan
kiri untuk mengecek apakah gerakan saya benar. Saya masih harus berlatih lebih
keras menyelaraskan gerak dengan irama musik tabuh, karena saya sering lebih
cepat atau lambat. Oh, kamu takkan tahu betapa nikmatnya ngegol ke kanan sambil mendengar suara gong ‘dung’. Itu berarti
gerakan saya tepat.
Satu lagi yang paling penting dan membuat saya tetap
berlatih walaupun babak belur di awal adalah: Saya ingin melakukannya. Saya
jelas tak punya target, tak ada bayangan untuk menjadi penari profesional. Saya
juga tidak berlatih untuk bisa manggung
atau semacamnya, bahkan juga bukan untuk ‘menguasai’ tariannya atau ikut
melestarikan kebudayaan daerah. Segala manfaat yang mungkin didapat cuma saya
anggap bonus. Saya berlatih menari karena saya ingin menari. Itu saja. Ini
sesuatu yang saya minati sejak lama, tapi dulu saya pikir tubuh saya tak mampu
melakukannya. Saya cuma ingin menari. I’m
doing it for the sake of doing it. Dan saya tak bisa menjelaskan lebih baik
dari ini.
Oktober 2011 lalu, setelah berlatih selama beberapa bulan,
saya ikut ujian Pendet. Kelompok saya yang terdiri dari sembilan orang
benar-benar gabungan peserta yang berbeda usia. Dari anak kelas 4 SD, SMP, SMA,
kuliah, baru bekerja sampai... saya dan seorang peserta lain yang nyaris
sebaya.
Tampil di panggung, di hadapan dewan juri dan penonton
ternyata membuat grogi. Walaupun tak punya target, tapi kan malu juga kalau
saya terjungkal di panggung atau melakukan kesalahan yang konyol?
Sampai separuh tarian, saya bisa merasakan dada saya
berdebar cepat. Saat itu yang saya pikir, ini karena gugup atau kostum tari
yang terlalu ketat? Tapi separuh tarian lagi saya bawakan dengan nikmat. Itulah
pertama kalinya saya menari tanpa melirik kanan kiri. Itu juga pertama kalinya
saya yakin, bahwa saya bisa menarikannya.
Oh tentu, saya masih punya banyak
kekurangan, tapi saya tak merisaukannya. Begini saja saya sudah bahagia. Apakah
ini masih saya yang sama? Saya yang dulu berminat pada tarian tapi tak berbuat
apa-apa karena yakin kalau ‘tubuh saya tidak untuk menari’. Saya telah
membuktikan pada diri sendiri kalau keyakinan bisa salah, atau bisa diubah.
Tapi di atas segalanya, saya telah mengikuti hasrat hati. Saya telah menari.
Itu saja.
Lalu kamu mungkin penasaran, bagaimana hasil ujiannya?
Ah, nilai tidak penting, tapi cukuplah untuk meloloskan saya ke tingkat
berikutnya: Tari Panji Semirang. Yay, semangat!
|
Foto: Bang Abdul alias cowoknya Kenia |
|
===============
UPDATE:
Saat menuliskan kisah di atas, saya baru lulus ujian Tari
Pendet. Sekarang –Mei 2016—saya sudah lulus ujian pentas Panji Semirang,
Tenun, Sekar Jagat, Penyembrahma, Condong, Sri Kamelawi, Cendrawasih, Legong Lasem, Gadung Kasturi dan kini sedang berlatih Wiranata.
What have I learned from all the practises? Well, I
learned that I really really really (!) don’t have the talent. Ha ha ha... But I
also learned that it doesn’t matter.
Saya menari. Dan saya suka. Itu yang paling penting :)